“POTRET PENDIDIKAN ISLAM DI ACEH”
Teman-teman mari kita lihat bagaimana
keadaan sosio cultural pendidikan Islam di Aceh. Kali ini kita akan lebih
membahas kewenangan agama dalam masyarakat aceh dari teugku ke ustad. Otoritas
pendidikan di aceh lebih banyak di kontrol oleh para pemimpin atau ahli agama
local yang di kenal dengan istilah teungku.
Di Aceh, ulama telah berperan
cukup aktif sejarah kedatangan islam hingga bergabung menjadi bagian dari
republik Indonesia. Semasa kerajaan islam, para ulama menjadi penasihat khusus
bagi sultan atau sultanan. Pada era perang Belanda, ulama juga tampil sebagai
pahlawan yang menggunakan ideologi jihat sebagai bentuk dari perang di jalan Allah.
Di Aceh, para ulama di kenal dengan panggilan teungku, abu
dan abon. Dalam hal ini terdapat hirarki. Ulama yang paling tinggi di
kenal dengan abu( Bapak),
yang terkadang di hubungkan dengan kampung dengan kediaman mereka, seperti Abu Tanoh Tirah, Abu Awe Geutah dan
AbuTanoh Abe. Nama-nama yang
menghubungkan dengan nama kampung menyiratkan bahwa mereka yang mengontrol pola
hidup keagamaan masyarakat. Dapat juga di tambahkan bahwa masyarakat Aceh
memanggil Abu dengan Teugku Chik yang biasanya menjadi kepala dayah. Tugasnya
adalah “ menentapkan kurikulum dan menetapkan metodelogi yang Digunakan dalam
pelaksanaan pendidikan” di dayah. Pada prinsipnya, sistem dayah sama dengan
pendidikan islam seperti pasantren di Jawa, surau di padang, pondok di Malaysia dan pho no Thailand
selatan. Karena itu, peran teungku chik sama dengan posisinya denga kyai di
pasantren. Peran seorang Abu Chik atau teugku Chik tidak hanya di dayah,tetapi
juga sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat. Misalnya, kerap mereka
diundang ke acara-acara pemerintah. Atau mereka terkadang di kunjungin oleh
panglima militer untuk bagian dari silaturrahmi. Bahkan, beberapa abu chik juga
terlibat dalam arena politik, khususnya pada pemilu local tahun 2009. Mereka
mendirikan partai yang
dikenal dengan PDA ( Partai Daulah Aceh). Namun demikian, beberapa Abu Chik
juga dikenal dengan sebutan Syaikh, terutama jika memiliki tarekat. Di beberapa
Dayah, khususnya di Aceh
Selatan, mereka melakukan sulu selama bulan ramadhan. Jika tidak ada Syeik atau
tarekat di beberapa dayah tertentu, maka beberapa santri senior akan melakukan
khalud, meditasi selama 45 hari dekat kuburan-kuburan ulama besar atau dalam
kamar yang dikenal dengan istilah salek
buta, medidasi spiritual dimana
“ tidak ada guru” selama “ pertemuan” dengan Allah. Beberapa sarjana menganggap
bahwa tradisi merupakan bagian dari ajaran wahdatul wujud yang berasal dari ibn
Arabi.
Adapun teugku yang bekerja di
bawah Abu Chik atau teungku Chik adalah tungku Bale. Secara akademik, kelompok
teugku ini sama denga peran ustad di dayah modern. sementara levelnya pun sama
dengan tingkat SMU. Para santri belajar dari Teungku Bale di balai-balai dayah.
Di samping itu, dalam hal tertentu, Teungku Bale juga mewakili abu chik atau
teugku chik dalam acara-acara agama keagamaan masyarakat.
Berikutnya adalah Teungku
Rankang. Tingkatan para Teungku ini sama dengan sekolah menengah pertama.
Kelompok Teungku Rangkang ini dipilih dari santri yang bertindak sebagai “
Asisten” bagi teungku Bale. Mereka hanya akan belajar dari tengku
rangkang atau langsung dari teungku chik sekali dalam seminggu. Dalam hal ini,
para santri belajar dari kita kuning berbahasa melayu dalam skrip arab. Pada
prinsipnya, kelompok teungku ini tidak memiliki otoritas di dayah , kecualai
menjadi “asisten” bagi Teungku Bale. Namun demikian, beberapa Teungku Rangkang
akan menepati posisi Teungku Bale karena kemajuan studinya dan tingkat loyalitas
terhadap sistem ini.
Tingkatan berikutnya ialah
Teungku Menasah. Tugas mereka bukanlah di dayah, melaikan di gampong ( kampung)
menasah dimana tempat anak-anak belajar islam dan melakukan shalat berjama’ah.
Pada tingkat ini, anak-anak di ajari bagaimana membaca dan menulis bahasa arab,
membaca al- Qur’an, melakukan shalat, akhlak, sejarah islam, rukun iman,
menyanyikan beberapa lagu agama pada malam jum’at. Pemilihan dari
Teungku-Teungku tersebut tersebut di dasarkan pada kualitas ilmu agama dan
kharisma.
Itulah sekilas tentang
“pendidikan islam di Aceh” yang dapat saya bagikan kepada teman-teman. Semoga
lebih dapat memperluas wawasan dan bermanfaat.
Referensi:
Ahmad
Kamaruzzaman Bustamam. Acehnologi