“ ACEH LAMPAU”
hai
teman-teman mari kita mempelajari kembali budaya aceh yang hampir terlupakan
atau musnah. Jangankan orang di luar
aceh, kita saja yang asli anak aceh kurang
memahami bagaimana budaya aceh. kita sebagai anak aceh seharusnya lebih mempertahankan
dan juga mengetahui budaya yang telah di warisi oleh nenek moyang kita. Jangan malah
mengabaikan maupun melupakan budaya atau tradisi nenek moyang kita sendiri.
Kali ini saya akan lebih membahas tentang
“Aceh Lampau”.
Pandangan
hidup orang aceh sangat sedikit sekali di kupas oleh para sarjana, kecuali adat
istiadat dan kehidupan beragama mereka yang sesuai dengan ajaran islam. Mereka
selalu megaitkan aceh dengan islam.mendiskusikan aceh, sama dengan
mendiskusikan islam.
Adapun
mengenai Aturan kehidupan di dalam bermasyarakat aceh memang hampir serupa
dengan rakyat jawa. Sejak proses islamisasi, tata aturan kehidupan rakyat aceh
lebih banyak di warnai oleh islam, pengaruh budaya hindu dan Buddha masih bisa
di jumpain hingga hari ini Untuk urusan hukum, maka itu di dasarkan pada
keputusan agama islam yang di berikan oleh ulama yang terkenal pada
kerajaan islam symbol syiah kuala perpaduan antara nama dari
Persia yaitu sya nama muara sungai yaitu
kuala.
Sementara itu, untuk persoalan cara berfikir dan cara
kemajuan masyarakat di simbolkan dengan reusan bak bentara. Aturan ini
sesungguhnya menyiratkan standar kehidupan masyarakat yang tidak terlalu
agamis. Jika adat istiadat di kendalikan dibawah Sultan dan mengikat seluruh
penduduk negeri, Maka reusam ini lebih
pada gaya hidup masyarakat aceh. Namun untuk persoalan upacara- upacara yang
bersifat kerakyatan namun disitu ada symbol budaya, maka di kenal dengan
istilah qanun bak putrou phang. Puteri Phang di simbolkan sebagai tokoh
wanita yang mengurusi persoalan wanita. Sehingga dalam tradisi Aceh, wilayah
kerja wanita dan pria pun berbeda-beda. Misalnya di dalam pesta, untuk
persoalan tata laksana peusijuek dan pet ranup
di lakukan oleh wanita. Penyambutan ta tung dara baro ( pengantin perempuan)
atau linto baro (pengantin pria) di lakukan oleh wanita . sedangkan untuk
persoalan masa lebih banyak di lakukan oleh pria. Karena itu, di dalam tradisi
Aceh yang paling dominan muncul di dalam pesta atau keunduri adalah kelompok
wanita.
Demikianlah reusam dan qanun yang berlaku di aceh sedangkan untuk keunduri yang lainnya seperti
nujuhan
atau tahlilan kelompok yang ‘di muliakan’ adalah kelompok
pria. Sedangkan wanitanya berada di belakang. Kerja sama yang bisa dilihat
kemunculan pria dan wanita saat kaunduri blang ( pesta sawah). Namun pada
kaunduri laot, wanita sama sekali tidak di jumpa ini di pandang sebagai symbol
pekerjaan lelaki di tengah laut.
Untuk
memahami budaya Aceh, maka yang perlu di lakukan upaya dari perspektif irfani,
yaitu apa yang di pikirkan oleh orang aceh mengenai cara hidup mereka. Untuk
melihat bagaimana proses pengaruh islam terhadap Aceh, maka kita harrus melihat
apa titik terakhir dari aspek islam yang “ berhenti” di Aceh. Untuk melihat
dunia aceh, maka yang perlu di lakukan adalah bagaimana orang aceh
mempersepsikan diri mereka dari bagian kosmologi. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar