Senin, 21 Desember 2015

Potret Pendidikan Islam Di Aceh

“POTRET PENDIDIKAN ISLAM DI ACEH”

Teman-teman mari kita lihat bagaimana keadaan sosio cultural pendidikan Islam di Aceh. Kali ini kita akan lebih membahas kewenangan agama dalam masyarakat aceh dari teugku ke ustad. Otoritas pendidikan di aceh lebih banyak di kontrol oleh para pemimpin atau ahli agama local yang di kenal dengan istilah teungku.

Di Aceh, ulama telah berperan cukup aktif sejarah kedatangan islam hingga bergabung menjadi bagian dari republik Indonesia. Semasa kerajaan islam, para ulama menjadi penasihat khusus bagi sultan atau sultanan. Pada era perang Belanda, ulama juga tampil sebagai pahlawan yang menggunakan ideologi jihat sebagai bentuk dari perang di jalan Allah.




Di Aceh, para ulama di kenal dengan panggilan teungku, abu dan abon. Dalam hal ini terdapat hirarki. Ulama yang paling tinggi di kenal  dengan abu( Bapak), yang terkadang di hubungkan dengan kampung dengan kediaman mereka, seperti Abu Tanoh Tirah, Abu Awe Geutah dan AbuTanoh Abe. Nama-nama yang menghubungkan dengan nama kampung menyiratkan bahwa mereka yang mengontrol pola hidup keagamaan masyarakat. Dapat juga di tambahkan bahwa masyarakat Aceh memanggil Abu dengan Teugku Chik yang biasanya menjadi kepala dayah. Tugasnya adalah “ menentapkan kurikulum dan menetapkan metodelogi yang Digunakan dalam pelaksanaan pendidikan” di dayah. Pada prinsipnya, sistem dayah sama dengan pendidikan islam seperti pasantren di Jawa, surau di padang,  pondok di Malaysia dan pho no Thailand selatan. Karena itu, peran teungku chik sama dengan posisinya denga kyai di pasantren. Peran seorang Abu Chik atau teugku Chik tidak hanya di dayah,tetapi juga sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat. Misalnya, kerap mereka diundang ke acara-acara pemerintah. Atau mereka terkadang di kunjungin oleh panglima militer untuk bagian dari silaturrahmi. Bahkan, beberapa abu chik juga terlibat dalam arena politik, khususnya pada pemilu local tahun 2009. Mereka mendirikan  partai yang dikenal dengan PDA ( Partai Daulah Aceh). Namun demikian, beberapa Abu Chik juga dikenal dengan sebutan Syaikh, terutama  jika memiliki tarekat. Di beberapa Dayah, khususnya  di Aceh Selatan, mereka melakukan sulu selama bulan ramadhan. Jika tidak ada Syeik atau tarekat di beberapa dayah tertentu, maka beberapa santri senior akan melakukan khalud, meditasi selama 45 hari dekat kuburan-kuburan ulama besar atau dalam kamar yang dikenal dengan istilah salek buta, medidasi spiritual  dimana “ tidak ada guru” selama “ pertemuan” dengan Allah. Beberapa sarjana menganggap bahwa tradisi merupakan bagian dari ajaran wahdatul wujud yang berasal dari ibn Arabi.

Adapun teugku yang bekerja di bawah Abu Chik atau teungku Chik adalah tungku Bale. Secara akademik, kelompok teugku ini sama denga peran ustad di dayah modern. sementara levelnya pun sama dengan tingkat SMU. Para santri belajar dari Teungku Bale di balai-balai dayah. Di samping itu, dalam hal tertentu, Teungku Bale juga mewakili abu chik atau teugku chik dalam acara-acara agama keagamaan masyarakat.



Berikutnya adalah Teungku Rankang. Tingkatan para Teungku ini sama dengan sekolah menengah pertama. Kelompok Teungku Rangkang ini dipilih dari santri yang bertindak sebagai “ Asisten”  bagi teungku Bale. Mereka hanya akan belajar dari tengku rangkang atau langsung dari teungku chik sekali dalam seminggu. Dalam hal ini, para santri belajar dari kita kuning berbahasa melayu dalam skrip arab. Pada prinsipnya, kelompok teungku ini tidak memiliki otoritas di dayah , kecualai menjadi “asisten” bagi Teungku Bale. Namun demikian, beberapa Teungku Rangkang akan menepati posisi Teungku Bale karena kemajuan  studinya dan tingkat loyalitas terhadap sistem ini.

Tingkatan berikutnya ialah Teungku Menasah. Tugas mereka bukanlah di dayah, melaikan di gampong ( kampung) menasah dimana tempat anak-anak belajar islam dan melakukan shalat berjama’ah. Pada tingkat ini, anak-anak di ajari bagaimana membaca dan menulis bahasa arab, membaca al- Qur’an, melakukan shalat, akhlak, sejarah islam, rukun iman, menyanyikan  beberapa lagu agama pada malam jum’at. Pemilihan dari Teungku-Teungku tersebut tersebut di dasarkan pada kualitas ilmu agama dan kharisma.

Itulah sekilas tentang “pendidikan islam di Aceh” yang dapat saya bagikan kepada teman-teman. Semoga lebih dapat memperluas wawasan  dan bermanfaat.
Referensi:


Ahmad Kamaruzzaman Bustamam. Acehnologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar